Belum

Ia selalu membayangkan, andai ia berdiri di luar jendela mobilnya sekarang. Silau dan panas tak terperi. Sedangkan dalam kendaraan yang ia tumpangi, sejuk selalu rasanya. Ia juga sering membayangkan, apa rasanya mengendarai kendaraaan di tengah padatnya sebuah kota yang sudah tua, tetapi memiliki seribu satu masalah seperti laiknya pemuda belia.

Malu rasanya, di usianya yang telah kepala tiga, ia tidak punya apa-apa. Kalau ada yang bertanya, apa yang telah kau kuasai, sebanyak apa harta yang kau punya, sejauh apa panah sukses yang kau tembakkan dari busur pemberian orang tua? Jawabannya, belum. Belum ada.

Ia selalu berjalan menundukkan kepala. Suara hiruk pikuk perkotaan tidak dapat menutupi bisik-bisik yang selalu ia dengar. Hakim, tidak hanya mereka yang duduk di meja hijau. Tetapi bahkan mereka yang dekat dengan kita. Semakin dekat, semakin kencang bisikannya. Semakin tajam terasa bilah pisau dari perkataannya, sindirannya.

Bahkan ketika ia duduk di kursi penumpang, ia hanya menundukkan kepala. Terkadang ia membaca, terkadang ia menenggelamkan diri dalam cerita. Cerita dan kisah yang mengantarnya lepas hanya sejenak, untuk kemudian kesadarannya ditarik kembali oleh hentakan kendaraan yang berhenti, atau suara sang pengemudi yang mengingatkannya, bahwa ia telah tiba di tujuan.

Panas tak terperi. Mungkin itu yang sering terasa di hatinya. Ia tahu apa yang seharusnya dilakukan adalah menanti. Menanti. Karena, hanya sebentar lagi. Sebentar lagi ia akan bisa berdiri sendiri, untuk kemudian perlahan-lahan menata hati. Mungkin mencari arti, atau sekedar bertemu dengan seseorang yang bisa ia kasihi.

Pada luar jendela kendaraannya sekarang, hujan turun kembali. Rintiknya deras, sejuk juga dingin. Sedangkan dalam dadanya, masih panas terik adanya. Ia selalu membayangkan, apa rasanya merasa memiliki segalanya pada usia dini, berhasil pada hari ini, namun pada akhirnya tidak punya hati.

Leave a comment